Sunday, November 17, 2002

Sri Agustini - Ingin Mengenalkan Tenun Ikat Troso

(Kompas 17 November 2002) ADA ketidakrelaan yang dirasakan Sri Agustini (46) terhadap kepopuleran tenun ikat pelangi. Sri senang tenun ikat pelangi dikenal banyak orang dan laris di pasaran domestik maupun internasional. Namun, banyak orang yang tidak tahu bahwa tenun ikat itu berasal dari Troso, Jepara, Jawa Tengah. Mereka lebih mengenalnya tenun ikat itu berasal dari Bali, atau Pekalongan, atau dari Yogyakarta.


Selama ini produksi kami 90 persen memang diborong pedagang dari Bali. Sedangkan sisanya dibeli pedagang dari Yogyakarta dan tempat-tempat lain. Akibatnya, tidak ada orang yang tahu kain tenun ikat pelangi berasal dari Troso, bukan dari Bali," kata Sri yang ditemui di sela-sela pameran kerajinan tangan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat, Rabu (13/11).


Bagi Sri kondisi itu sangat menyedihkan. Setiap kali ada orang menggunakan kain tenun itu dan ditanya apakah mereka tahu Desa Troso, mereka menjawab tidak tahu. "Akhirnya saya berpikir, mengapa saya tidak menjual saja sendiri. Tentunya dengan bendera Troso, bukan Bali atau Yogyakarta. Dengan begitu, nama desa itu juga terangkat," kata perempuan berdarah Sunda namun lahir di Jakarta itu.


Sri sendiri sangat peduli pada Desa Troso karena suaminya, Rofiq Djamil, berasal dari Desa Troso. Dan, pekerjaan menenun kain sudah dilakukan Rofiq secara turun-temurun. "Hampir seluruh pekerjaan warga Desa Troso adalah menenun kain, dan itu sudah dilakukan sejak nenek moyang mereka. Saya memang bukan asli orang Troso, tetapi keluarga besar suami saya masih di sana dan masih menenun kain. Jadi saya ikut kecewa dengan kenyataan itu," aku Sri.


Sejak itu, Sri memutuskan keluar dari pekerjaan dia sebagai jasa pemasaran di sebuah perusahaan jasa desain interior. Sri ingin terjun 100 persen mempromosikan kain tenun Troso, tidak hanya di dalam tetapi juga ke luar negeri. "Suami tugasnya memproduksi kain, sedangkan saya yang membuat dan mencari desain, kemudian menjualnya. Kebetulan bakat dagang saya cukup besar," ujar Sri yang sudah sejak duduk di bangku kuliah rajin membawa barang dagangan ke ruang kelas.


***


TAHUN 1980 Sri keluar dari pekerjaan dan memulai menawarkan kain pelangi made in Troso kepada kenalan-kenalannya. Sambutan pasar cukup baik, hingga akhirnya Sri memutuskan membuka toko di Pasar Tanah Abang pada tahun 1985. Di sana Sri tidak hanya menjual tenun ikat Troso, tetapi juga kain-kain tenun dari daerah lain. Sri juga mulai membuat kemeja pria dari bahan kain tenun. "Diversifikasi itu membuat usaha saya lebih besar. Saya juga beberapa kali dipercaya oleh desainer almarhum Prajudi untuk membuatkan kemeja tenun ikat," kata Sri.


Pasar yang semakin besar dan mendapat kepercayaan dari almarhum Prajudi membuat Sri semakin percaya diri. Dia lalu mulai membuka beberapa gerai tenun ikat di mal-mal yang tersebar di seluruh Jabotabek. Sri juga rajin mengikuti bazar yang selalu diselenggarakan di berbagai tempat. Pada saat yang sama, Sri juga ditawari ikut pameran di Singapura. "Saya lupa tahunnya, sekitar tahun 1986-an. Pameran itulah yang membuka jalan saya untuk pasar internasional," kata Sri yang setiap bulan mengirim kain dan sofa ke Singapura dan Jepang. Sri juga punya beberapa langganan di Belanda.


Hampir setiap tahun Sri juga ikut pameran ke negara-negara lain sehingga pasarnya bertambah luas. Setiap kali pameran yang biasanya berlangsung minimal selama satu minggu, Sri berusaha menyewa apartemen. "Daripada tidur di hotel, lebih baik di apartemen. Harganya jauh lebih murah dan bisa memasak sendiri. Bukannya pelit, tetapi memang harus hemat dalam pengeluaran," kata perempuan yang hobinya jalan-jalan ini.


Setiap kali pameran, Sri tidak hanya menjual kain tenun berupa lembaran kain saja. Dia juga menjual dalam bentuk gorden, tempat tidur-sofa, bantal, tudung saji, alas piring, taplak, selendang, dan bentuk-bentuk lain. Keberanekaragaman bentuk ini membuat banyak pembeli tertarik untuk membeli dan terus membeli.


***


BUKAN sukses namanya jika dicapai tidak dengan rintangan. Sri yang sudah bisa dibilang cukup mapan dengan penghasilan yang didapat dari kain tenun, ternyata juga harus melewati berbagai cobaan. "Tiga mobil saya terpaksa dijual setelah kerusuhan Mei 1998. Sekarang yang tersisa hanya satu mobil boks dan sepeda motor. Jadi, sekarang saya ke mana-mana dengan sepeda motor atau dengan kendaraan umum," kata Sri.


Sri yang sudah mempunyai delapan gerai dan penjualan tetap ke Singapura ini sempat mengalami kerugian lebih dari Rp 300 juta ketika kerusuhan Mei 1998, karena mal-mal di Jabotabek tempat gerainya berada dijarah massa. Sri stres berat. Dia lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana api melahap mal Lippo Karawaci dan bagaimana barang-barangnya dijarah.


Gerai yang tersisa dan tidak sempat dijarah hanyalah di Mal Taman Anggrek dan Mal Citraland. "Pada waktu itu saya juga sedang pameran di beberapa mal. Dan barang-barang pameran itu juga ikut dijarah atau terbakar. Begitu stres-nya saya hingga perut saya sakit dan saya harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari," kenang Sri.


Kejadian itu juga membuat Sri trauma untuk berusaha lagi di Jakarta. Setelah sembuh, Sri lalu memutuskan hijrah ke Batam dan memulai usaha kain di sana. Maksudnya, jika kerusuhan terjadi lagi, dengan mudah Sri bisa lari ke Singapura. Namun, ternyata tidak mudah membuka usaha di Batam karena infrastruktur belum selengkap di Jakarta. Tiga bulan Sri mencoba peruntungan di sana, namun akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta. Jumlah mal di Batam yang tidak sebanyak di Jakarta dan selera masyarakat Batam yang agak berbeda dari masyarakat Jakarta, membuat usaha Sri tidak bisa berkembang pesat di Batam.


Selain itu, Sri juga sudah mulai bisa menerima peristiwa kerusuhan itu. Suami dan teman-teman membesarkan hati dia. Ibu Krisni MS dari YDBA membantu Sri berpromosi. Akhirnya Sri bisa menganggap kejadian itu adalah cara Tuhan mengingatkan Sri agar lebih bersyukur dan tidak sombong. "Baik keberhasilan ataupun kemalangan, kita harus selalu melihat ke atas dan ke bawah. Selalu saja ada orang yang lebih menderita atau lebih beruntung dari kita. Jadi kita harus selalu mawas diri," kata Sri.


Kemampuannya menerima kenyataan membuat Sri bergairah berusaha kembali. Usahanya semakin besar, bahkan pada saat perusahaan banyak memecat pegawai, Sri justru menambah pegawai. Sekarang Sri mempunyai 40 pegawai yang tersebar di Troso di Jawa Tengah, dan di Jabotabek ada di Cipinang, Pasar Minggu, dan Perumnas Karawaci. "Karyawan di Troso bertugas menenun kain, sedangkan yang di Jakarta menjahit kain menjadi berbagai macam barang," kata Sri mengakhiri percakapan. (ARN)

No comments:

Post a Comment