SEBELUM nyala lilin dan lonceng Natal, sebelum gempa gelombang tsunami menyeret Aceh ke lautan pilu, dan sebelum terompet kesedihan menyapa Tahun Baru, Lakon ''Waktu Batu # 3'' dari Teater Garasi Yogya digelar di Jepara. Panitia pementasan KSSJ (Kelompok Studi Sastra Jepara atau Komunitas Suku Siapa Jepara) dan didukung Pemda Jepara.
Pementasan teater sekelas Garasi (telah pentas di Singapura) bagi apresian Jepara adalah bukan tontonan biasa. Sebab, kata pengamat teater Triyanto Triwikromo, Semarang saja belum mengundang Garasi, tetapi Jepara telah berani mengusungnya. Garasi telah menampilkan kolaborasi artistik: musik-rupa-tari-warna, dipandu multimedia sehingga mencipta ''sihir'' pertunjukan yang nikmat ditonton.
Ada hal-hal yang perlu diapresiasi dari pementasan tersebut. Pementasan itu telah membiaskan multitafsir di kalangan seniman Jepara ataupun para pejabat. Salah satunya tafsir penulis yang jauh dari benar. Mungkin pihak Pemda ingin menyapa, ''Apa kabar seniman Jepara?'', atau ingin melehke kepada seniman Jepara (lebih khusus seniman teater?). Hai, seniman-seniman Jepara, mana karya-karya kalian yang spektakuler, sehingga menjadi karya yang diperbincangkan berbagai kalangan?
Benar, kalau mebel ukir Jepara sudah menjelajah dunia, juga karya Kartini dan heroisme Kalinyamat. Selain itu?
Penulis prihatin melihat realitas kreativitas seniman Jepara (terutama seniman muda usia/karya), sedangkan kondisi DKDJ (Dewan Kesenian Daerah Jepara) selama ini geliatnya tumpang-tindih. Padahal Pemda Jepara telah memfasilitasi gedung kesenian, meskipun kurang representatif sebagai gedung pertunjukan.
Para seniman muda terus mencari jati diri, berproses tak kenal henti? Gelisah kreatif terus menjadi-jadi. Ada yang bikin pementasan teater yang sulit dipahami. Ada yang bikin film indie. Ada yang bikin musik puisi. Ada patung yang merenung. Ada yang terus menulis cerpen dan puisi tak selesai-selesai. Ada fotografer yang belum punya kamera, dan mungkin masih banyak lagi masalah yang belum terdata.
Geliat seniman tersebut bagai mozaik yang belum tersusun artistis, eksotis. Sudah waktunya semua bekerja mencipta karya seni yang nikmat dirasai, dan tidak gagap memasuki ''pasar'' seni internasional yang fenomenal.
Sekaranglah kita mesti berbenah. Jepara bukan sekadar persinggahan komunitas kesenian dari berbagai daerah lain yang menggelar karya, tetapi Jepara sendiri harus berjuang menghadapi pertempuan seni dunia sehingga tercipta karya-karya fenomenal yang mendunia?
Utopia? Ah, yang utama adalah kerja. Kerja! Kerja! Hidup adalah kerja. Lalu penulis pun bertanya, ''Mana hasil kerjamu?'' (pada diri sendiri).
Lalu untuk selaksa langkah ke depan, perlu dimulai selangkah sekarang. Menurut penulis, apabila DKDJ berjalan dengan harmoni simponi kebersamaan, saling isi dan mengingatkan meskipun dari berbagai penjuru mata angin, sungguh, atmosfer kesenian di Jepara akan terasa nyaman dan menyenangkan.
Apalagi didukung objek-objek wisata di Jepara yang menjanjikan. Kura-kura raksasa di Pantai Kartini, Pantai Perak Bandengan, Benteng Portugis, masjid keramat Mantingan, Eksotisme Karimunjawa, dan masih ada tempat-tempat lain yang perlu sentuhan artistik.
Pembenahan DKDJ (Dewan Kesenian Daerah Jepara)
Kepengurusan DKDJ selama ini bagaimana? Bagaimana dengan kreativitas pengelolaannya? Penulis bukan mencari kambing hitam, apalagi harus menyalahkan pengurus. Konon kepengurusan yang lalu berakhir September 2004. Namun sampai kini belum ada musyawarah daerah (musda) ataupun reformasi kepengurusan (ataukah penulis yang cubluk! Tak tahu informasi).
Saatnya sekarang mengefektifkan kepengurusan DKDJ. Memang dibutuhkan ketua dan punggawanya yang bertangan dingin (berdarah dingin?) untuk mengurus seniman yang telanjur diberi label oleh masyarakat sebagai ''makhluk norak''.
Pengurus yang akan datang, mesti paham, apa dan bagaimana menghadapi pertempuran seni. Butuh pengurus seni/pemimpin yang paham seni (tidak harus seniman) sehingga pendakian-pendakian estetis berbagai disiplin seni akan tercapai maksimal.
Butuh pemimpin kesenian yang punya tsunami imajinatif kreatif sehingga pertempuran artistik, strategi distribusi komoditas seni, memahami romantika problematik artistik liar para seniman.
Ke depan, akan lahir Kartini-kartini baru.
Ke depan, akan lahir Ki Sungging-sungging baru.
Ke depan, akan lahir Alex Komang, Jamal Mirdad (sekadar menyebut nama) lain.
Bukankah itu semua butuh kerja keras tak kenal henti?
Apakah berkesenian itu harus menunggu perut kenyang dahulu?
Masih banyak pertanyaan yang butuh penyelesaian lewat kerja, bukan kata-kata. Sebaiknya yang mendesak kini adalah diselenggarakannya Kongres Kesenian Jepara. Kemudian seniman Jepara merapatkan barisan demi hari depan, lewat karya-karya untuk meningkatkan kualitas apresiasi masyarakat.
Mari berlomba-lomba dalam karya, Bung! Kongres Kesenian Jepara, Kapan? (90n)
- Alie Emje, Ketua KSSJ (Kelompok Studi Sastra Jepara atau Komunitas Suku Siapa Jepara).